Bertempat di depan Kantor Bupati Halmahera Utara pada bukan September 2013 berlangsung Sidang Sinode Istimewa (SSI). Pelaksanaan SSI ini dimaksudkan untuk mengkritisi berbagai perkembangan yang terjadi dalam tubuh GMIH dimana ketua Sinode Pdt. Anton Piga,M.Si., dan Sekretaris Sinode GMIH Pdt. Demianus Ice,M.Th., yang terpilih pada persidangan Sinode di Dorume telah melakukan penyimpangan mendasar pada asas hidup menggereja GMIH. Ketua Sinode dan Sekretaris Sinode telah dengan sengaja melantik ketua jemaat sebagai Majelis Sinode. Padahal dalam asas presbiterial sinodal sebagai asas GMIH Majelis Sinode adalah perwakilan dari jemaat. Dalam pengertian demikian jemaatlah yang seharusnya menentukan siapa yang diutus menjadi anggota dari Majelis Sinode. Hal lain yang juga jelas terlihat adalah bahwa ketua Sinode melakukan berbagai penyimpangan dalam bidang keuangan dimana dana pensiun para pegawai telah habis digunakan tanpa sebuah laporan pertanggungjawaban yang jelas. Sedangkan Sekretaris Sinode dengan sengaja merubah berbagai keputusan sidang sinode yang berujung pada kacaunya aturan-aturan dasar gereja. Ada begitu banyak penyimpangan yang dirumuskan dalam 30 point pelanggaran.
SSI yang diprakarsai oleh sekretariat pembaruan GMIH akhirnya melakukan persidangan sinode istimewa dengan dukungan dari 230 jemaat GMIH. Dari SSI itu kemudian terpilih dengan sistem undian pengurus sinode yang baru yaitu:
Ketua : Pdt. L. Sambaimana,M.Th., Wakil Ketua 1: Pdt. Justince Sadaro,M.Si., Wakil Ketua 2: Pdt. R. Kumurur,S.Th., Wakil Ketua 3: Pnt. Jois M. Namotemo-Duan,M.Si., Wakil Ketua 4: Pnt. Ir. Fery Patiasina,M.Si., Sekretaris : Pdt. Alven Ternate,M.Si., Wakil Sekretaris: Pdt. Ch. Inik,S.Th., Bendahara: Pdt. Ruddy Tindage,M.Teol., Wakil Bendahara: Pnt. Lahade.
Diharapkan BPHS baru hasil SSI dapat membawa perubahan pada kehidupan warga GMIH yang telah dirusak oleh BPHS yang lama.
Senin, 25 November 2013
Senin, 02 Juli 2007
Kata Pengantar
Pada tanggal 19 April 1866 van Dijken dan de Bode tiba di Halmahera dan bergumul bagaimana agar orang-orang yang mendiami pulau Halmahera dan pulau sekitarnya memahami Injil Yesus Kristus sebagai berita pembebasan dan pemberdayaan.
Dari usaha keras mereka itulah maka pada tanggal 6 Juni 1949 terbangun komitmen bersama sejumlah tokoh Kristen Halamhera khas zending dan para zendeling dari Badan Zending UZV dan VNZ untuk membentuk suatu wadah kelembagaan berjalan bersama dari Jemaat-Jemaat zendeling dari Badan Zending UZV itu yang tersebar di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya dengan nama: Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (Sinode-GMIH).
Selama ini, sejak dilembagakan pada tanggal 6 Juni 1949 hingga sekarang ini (menjelang SS XXVI), GMIH telah memiliki 7 (tujuh) bentuk Tata Gereja dengan corak ekklesiologis masingt-masing. Kalau kita memperhatikanTata Gereja 1949 yang mengalami perubahan tahun 1955 dalam bentuk Peraturan Am GMIH 1955 dan Tata Gereja GMIH berikutnya ( mulai tahun 1975, 1979, 1987, 1992, 1997, 2002??(Tata Gereja produk SS XXV di Wari-Tobelo ini tidak diedarkan karena ada masalah internal antar-team yang mengeditnya) maka akan jelas beberapa hal sebagai berikut:
Dalam Tata Gereja-Tata Gereja dimaksud identitas ekklesiologis GMIH mencerminkan identitas ekklesiologis badan zending UZV. Juga definisi diri GMIH lebih bersifat umum. Dapat dikatakan bahwa yang nyata di sana ialah sebuah definisi umum tentang Gereja.
Bentuk pengorganisasiannya juga lebih mencerminkan model asas presbyterial sinodal pasca Sinode Perancis 1559 sebagaimana banyak dianut oleh Gereja-gereja Calvinis di Indonesia selama ini. Jemaat, Klasis/Wilayah dan Sinode dibaca secara berjenjang. Tanpa disadari bentuk ini sebenarnya mengambil-alih struktur kelembagaan birokrasi umum dalam masyarakat seperti strukur kelembagaan pemerintah kolonial-Belanda, Indonesia Orda Lama dan Orde Baru. Dalam konteks semakin kuatnya semangat kemandirian bentuk pengorganisasian ini tidak lagi relevan.
Kultur kepemimpinan dalam organisasi juga lebih mencerminkan kultur kepemimpinan dengan kekuasaan yang sentralistik khas “zending”, rezim Orde Lama dan Orde Baru yang feodalistik-militeristik-top-down khas kultur masyarakat agraris (pra- modern/pola kepemimpinan pola Abad Kegelapan/Abad Pertengahan). Memang tipe kemimpinan ini cocoq dengan konteks Jemaat-Jemaat dan tingkat pendidikan warga GMIH pada saat itu. Dalam konteks semakin menguatnya kesadaran egaliter, emansipatoris, partisipatoris, kolegialitas, demokratis dan meritokratis di kalangan warga Jemaat dan pelayan khusus bukan Pendeta serta di kalangan masyarakat umum tampaknya kultur kepemimpian ini hanya akan menimbulkan kontra-produktif sehingga semangat untuk berjalan bersama (baca: bersinode) tidak lebih dari sebuah retorika kosong saja. Makin meningkatnya kasus tidak dijalankannya SK-SK MPS-GMIH selama ini dan semakin mengutatnya resistensi Jemaat-Jemaat dalam Sinode GMIH dalam hal finansial dapat menjadi contoh dalam hal ini.
Majalis Pekerja Sinode GMIH (MPS-GMIH), periode 2002-2007, sangat menyadari hal itu. Kesadaran ini juga didasari oleh indikasi yang kuat dalam Keputusan Sidang Sinode GMIH XXV di Jemaat Ikhtus Wari-Tobelo (2002)(lihat Keputusan tentang Ajaran dan Teologi, Keputusan PUPG (Program Utama I). Malahan mereka berpendapat bahwa jika keadaan ini dipertahankan maka warga GMIH akan lebih senang memilih persekutuan iman di luar GMIH. Maka dari itu, dengan menyadari hal-hal tadi, MPS-GMIH (periode 2002-2007), telah berusaha mendorong pembaharuan dalam bentuk pembaharuan Tata Gereja GMIH. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa Tata Gereja bukanlah sekedar sebuah regulasi saja. Sebaliknya, dalam Tata Gereja, juga menjadi jelas ajaran, teologi, teologi, misi dan visi GMIH itu sendiri. Maka dari itu, maksud dari pembaharuan Tata Gereja, ialah agar Tata Gereja GMIH lebih merupakan jawaban teologis-misiologis-ekklesiologis terhadap pergumulan pelayanan yang lahir dari dalam rahim pergumulan warga GMIH dan warga masyarakat sekitarnya. Dengan cara demikian GMIH dapat menjadi garam dan terang yang sesungguhnya(bdk. Matius 5:13-16).
Berdasarkan keyakinan yang kokoh terhadap pembaharuan itulah maka MPS-GMIH (periode 2002-2007) --- dengan mempertimbangkan hasil Semiloka Ajaran dan Teologi tentang Calvinisme di Jemaat Mandiri Siloam-Gosama (2003) dan Semiloka Asas Presbyteraial Sinodal di Jemaat Mandiri Imanuel-Gamsungi(2005) serta pemikiran-pemikiran yang berkembang di Rakerta IV di Hatetabako-Wasilei (November 2005)--- membentuk suatu Tim Rivisi Tata Gereja (dengan Surat Tugas tangal 24 Maret 2006, nomor: MPS/1390/B-1/XXV/2006), yang terdiri atas: Pdt. R. Salakparang, S.Th (Penanggungjawab/Konsultan—pihak MPS), Pdt. Dr. Julianus Mojau (Ketua Tim Revisi---dari Baidang Ajaran dan Teologi GMIH), Pdt. J. Petrof, S.Si (Sekretaris), Pdt. A. Puasa, M.Th., Pdt. Jerda Djawa, M.Th,. Ir. A. Yoyana dan Silvanus Bungga, SH (Anggota).
Tim yang dibentuk itu mulai bekerja dengan mengajukan dua kali position paper tentang perlunya perubahan dan arah dasar Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH. Position paper pertama diajukan pada Rapat Evaluasi bersama pimpinan Wilayah se-Sinode GMIH(April 2006). Sementara position paper kedua diajukan pada Rapat Evaluasi bersama pimpinan Wilayah se-Sinode GMIH(Juli 2006). Selanjutnya, Tim ini dengan segala upaya telah berusaha sedemikian rupa ---- dengan cara mempelajari berbagai sumber, baik tekstual tertulis dalam bentuk dokumen-dokumen Gerejawi ( baik dari kalngan GMIH sendiri maupun dari Gereja-Gereja anggota PGI yang seasas GMIH) maupun penjaringan aspirasi di kalangan Jemaat-Jemaat dan warga Jemaat dalam Sinode GMIH serta keyakinan-keyakinan teologis yang sebagaimana terhayati oleh warga Jemaat GMIH dengan mempertimbangkan pergumulan hidup sehari-hari (secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik; secara khusus dari hasil penelitian bidang Ajaran dan Teologi GMIH)----- sesehingga pada Rakerta V di Nusliku-Weda untuk pertama kalinya diajukan draft pembaharuan dimaksud. Awalnya diharapkan draft ini dibahas secara serius dalam suatu bentuk persidangan sinode yang disebut: Sidang Sinode Istimewa. Namun terkait dengan semakin dekatnya Sidang Sinode XXVI di Jemaat Immanuel Tiga-Saudara-Ibu, maka maksud itu diurungkan. Namun pembahasan sebagai bentuk pendalaman terus dilakukan. Dan hal itu telah diwujudkan dalam bentuk dua kali Lokakarya Draft Tata Gereja 2007. Pertama, tanggal 31 Meii s/d 2 Juni 2007 di Jemaat Bethlehem, Wilayah Pelayanan Tobelo, dengan peserta yang agak terbatas. Kedua, tanggal 15-16 Juni 2007 di Jemaat-Moria-Pitu, Wilayah Pelayanan Tobelo, dengan peserta lebih luas dan banyak. Selama Lokakarya berlangsung diskusi sangat hangat dan produktif, sehingga menghasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut:
Roh pembaharuan diletakan pada semangat re-komitmen secara kontekstual terhadap asas presbyterial sinodal berbasis keumatan. Apa yang dimaksud dengan hal ini ialah draft Tata Gereja 2007 merupakan upaya pencarian identitas GMIH pasca-zendeling dan badan zending yang mencerminkan pergulatan humanis-ekologis kontekstual GMIH dalam melaksanakan tugas misionernya menjadi Gereja yang mandiri dan misioner di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya tanpa harus kehilangan identitas khas Calvinis sebagaimana diwarisi dari zendeling dan badan zending UZV.
Bertolak dari butir pertama di atas maka lebih lanjut disepakati: (a) perlunya re-definisi identitas ekklesiologis GMIH sebagaimana dirumuskan dalam Tata Dasar, Bab I dan Bab II; (b) perlunya re-strukturisasi kelembagaan sehingga lebih mencerminkan struktur kelembagaan pemberdayaan warga sebagaimana dirumuskan dalam Tata Dasar Bab V (dan Peraturan terkaitnya: Peraturan Jemaat dan Sinode--- dengan re-posisi Wilayah-Wilayah menjadi Koordinator; lihat juga bagan pola persekutuan dan struktur kelembagaan--terlampir); (c) perlunya kejelasan hal-hal yang terkait dengan kasus-kasus pastoral dalam kehidupan Jemaat dan tugas pelayanan para pendeta sebagai penatua penuh waktu dalam Jemaat-Jemaat sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan tentang Pelayan Khusus ( di mana khusus penatua penuh waktu/pendeta dilarang untuk partisian---lihat syarat-syarat pendeta); (d) adanya re-definisi dan re-orientasi kesalehan Kristiani dan penataan kembali secara baik kelender lliturgis kehidupan serta simbol-simbol liturgis sebagaimana diatur dalam Peraturan tentang Persekutuan Jemaat dan Penanggalan Kalender Gerejawi dan Siumbol-Simbol Lururgis; (e) serta pengaturan ulang tentang aset-aset GMIH dalam bentuk Peraturan tentang Badan Usaha dan Yayasan-Yayasan.
Dengan demikian draft Tata Gereja 2007 lahir dari suatu proses dialogis pencarian identitas ekklesiologis GMIH antara pembacaan Alkitab dalam konteksnya dengan tradisi iman Calvinis serta tradisi iman Gereja-gereja Reformatoris dalam konteksnya dengan konteks pergumulan humanis-ekologis warga GMIH dan warga masyarakat di pulau Halmahera dan pulau sekitarnya yang terus menerus berbenah-diri menjadi masyarakat yang lebih menghayati HAM, tatanan sosial dan pemerintahan yang demokratis, sehat lingkungan, partisipatoris, emansipatoris, egaliter dan meritokratis. Jadi, pola dan kultur kepemimpinan dalam organisasi GMIH sebagaimana nyata dalam draft Tata Gereja 2007 adalah hasil dari proses dialogis itu. Bukan mengambil alih begitu saja apa yang dikatakan dalam Alkitab, pola dan kultur kemimpinan dalam organisasi presbyterial Calvinis di Jenewa dan asas presbyterail sinodal pasca Sinode Prerancis (1559) sebagaimana banyak dipraktikan oleh Gereja-gereja Calvinis di Indonesia. Secara diagramatikal perbedaan itu dapat digambarkan sebagai berikut:
ALKITAB
Konteks (Monarki, Nomaden, Komunalisme).
Tata Gereja GMIH 2007
(Ajaran dan Teologi, Misi – Visi, Identitas Eklesiologis GMIH)
Asas Presbyterial Calvin di Jenewa
konteks
(aristokratis)
Konteks
Asas Presbyterial Sinodal Pasca Sinode Perancis (1559)
Konteks
Asas Presbyterial Sinodal Berbasis Keumatan
(Egaliter, Emansipatoris, Partisipatoris, Demokratis, Meritokratis, Peka Ekologis)
Asas Presbyterial Sinodal Gereja-gereja di Indonesia
Konteks (Kolonial, Orde Lama, Orde Baru)
Asas Episkopal
Konteks
(Paternalisme/Papalisme)
Warga GMIH
Masyarakat Halmahera dan sekitar
Konteks
(Global, Open Society, Civil Society)
Pergulatan humanis-ekologis
Cukup jelas kiranya dari uraian-uraian dan diagram di atas tentang pengertian dasar kepejabatan, wibawa kepejabatan, kultur kepemimpinan, dan pola pengorganisasian dalam Asas Presbyterail-Sinodal Berbasis Keumatan! Dengan demikian Tata Gereja bukanlah sekedar regulasi, melainkan suatu pergulatan ekklesiologis, yang lahir dari dalam rahim pergulatan humanis-ekologis warga GMIH dan warga masyarakat yang mendiami pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Dengan kata lain, draft Tata Gereja ini (sebagaimana nyata dalam Bab, Pasal dan Ayat), adalah mencerminkan pergulatan misiologis, teologis, dan ekklesiologisdalam menata-layani kehidupan bersama Gereja Masehi Injili di Halmahera sebagai qahal-Yahweh (umat Allah) dan soma Christoi (tubuh Kristus) yang terus menerus bergumul secara kontekstual dengan proses-proses pembaharuan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya!
Akhirnya, dalam tradisi Gereja-gereja Reformatoris, pembahruan merupakan conditio sine qua non seperti nyata dari semboyan reformasi: Ecclesia Reformata Semper Reformanda!! GMIH sebagai Gereja reformatoris tidak bisa memadamkan api pembaharuan. Jika GMIH memadamkan api pembaharuan berarti GMIH menghianati sejarahnya dan tradisi teologisnya yang selalu menekankan pembaharuan diri yang terus menerus demi kemulian Allah dalam Yesus Kristus, kini dan sepanjang masa!! Maka dari itu, draft Tata Gereja ini, di satu pihak merupakan kontinuitas dari Tata-Gereja sebelumnya; namun di pihak lain merupakan diskontinuitas karena perubahan pergumulan kontekstual secara misiologis, teologis, dan ekklesiologis!
Tobelo, 20 Juni 2007
Pdt. DR. Julianus Mojau
Ketua Tim Revisi Tata Gereja 2007/Ajaran dan Teologi GMIH
Pada tanggal 19 April 1866 van Dijken dan de Bode tiba di Halmahera dan bergumul bagaimana agar orang-orang yang mendiami pulau Halmahera dan pulau sekitarnya memahami Injil Yesus Kristus sebagai berita pembebasan dan pemberdayaan.
Dari usaha keras mereka itulah maka pada tanggal 6 Juni 1949 terbangun komitmen bersama sejumlah tokoh Kristen Halamhera khas zending dan para zendeling dari Badan Zending UZV dan VNZ untuk membentuk suatu wadah kelembagaan berjalan bersama dari Jemaat-Jemaat zendeling dari Badan Zending UZV itu yang tersebar di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya dengan nama: Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (Sinode-GMIH).
Selama ini, sejak dilembagakan pada tanggal 6 Juni 1949 hingga sekarang ini (menjelang SS XXVI), GMIH telah memiliki 7 (tujuh) bentuk Tata Gereja dengan corak ekklesiologis masingt-masing. Kalau kita memperhatikanTata Gereja 1949 yang mengalami perubahan tahun 1955 dalam bentuk Peraturan Am GMIH 1955 dan Tata Gereja GMIH berikutnya ( mulai tahun 1975, 1979, 1987, 1992, 1997, 2002??(Tata Gereja produk SS XXV di Wari-Tobelo ini tidak diedarkan karena ada masalah internal antar-team yang mengeditnya) maka akan jelas beberapa hal sebagai berikut:
Dalam Tata Gereja-Tata Gereja dimaksud identitas ekklesiologis GMIH mencerminkan identitas ekklesiologis badan zending UZV. Juga definisi diri GMIH lebih bersifat umum. Dapat dikatakan bahwa yang nyata di sana ialah sebuah definisi umum tentang Gereja.
Bentuk pengorganisasiannya juga lebih mencerminkan model asas presbyterial sinodal pasca Sinode Perancis 1559 sebagaimana banyak dianut oleh Gereja-gereja Calvinis di Indonesia selama ini. Jemaat, Klasis/Wilayah dan Sinode dibaca secara berjenjang. Tanpa disadari bentuk ini sebenarnya mengambil-alih struktur kelembagaan birokrasi umum dalam masyarakat seperti strukur kelembagaan pemerintah kolonial-Belanda, Indonesia Orda Lama dan Orde Baru. Dalam konteks semakin kuatnya semangat kemandirian bentuk pengorganisasian ini tidak lagi relevan.
Kultur kepemimpinan dalam organisasi juga lebih mencerminkan kultur kepemimpinan dengan kekuasaan yang sentralistik khas “zending”, rezim Orde Lama dan Orde Baru yang feodalistik-militeristik-top-down khas kultur masyarakat agraris (pra- modern/pola kepemimpinan pola Abad Kegelapan/Abad Pertengahan). Memang tipe kemimpinan ini cocoq dengan konteks Jemaat-Jemaat dan tingkat pendidikan warga GMIH pada saat itu. Dalam konteks semakin menguatnya kesadaran egaliter, emansipatoris, partisipatoris, kolegialitas, demokratis dan meritokratis di kalangan warga Jemaat dan pelayan khusus bukan Pendeta serta di kalangan masyarakat umum tampaknya kultur kepemimpian ini hanya akan menimbulkan kontra-produktif sehingga semangat untuk berjalan bersama (baca: bersinode) tidak lebih dari sebuah retorika kosong saja. Makin meningkatnya kasus tidak dijalankannya SK-SK MPS-GMIH selama ini dan semakin mengutatnya resistensi Jemaat-Jemaat dalam Sinode GMIH dalam hal finansial dapat menjadi contoh dalam hal ini.
Majalis Pekerja Sinode GMIH (MPS-GMIH), periode 2002-2007, sangat menyadari hal itu. Kesadaran ini juga didasari oleh indikasi yang kuat dalam Keputusan Sidang Sinode GMIH XXV di Jemaat Ikhtus Wari-Tobelo (2002)(lihat Keputusan tentang Ajaran dan Teologi, Keputusan PUPG (Program Utama I). Malahan mereka berpendapat bahwa jika keadaan ini dipertahankan maka warga GMIH akan lebih senang memilih persekutuan iman di luar GMIH. Maka dari itu, dengan menyadari hal-hal tadi, MPS-GMIH (periode 2002-2007), telah berusaha mendorong pembaharuan dalam bentuk pembaharuan Tata Gereja GMIH. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa Tata Gereja bukanlah sekedar sebuah regulasi saja. Sebaliknya, dalam Tata Gereja, juga menjadi jelas ajaran, teologi, teologi, misi dan visi GMIH itu sendiri. Maka dari itu, maksud dari pembaharuan Tata Gereja, ialah agar Tata Gereja GMIH lebih merupakan jawaban teologis-misiologis-ekklesiologis terhadap pergumulan pelayanan yang lahir dari dalam rahim pergumulan warga GMIH dan warga masyarakat sekitarnya. Dengan cara demikian GMIH dapat menjadi garam dan terang yang sesungguhnya(bdk. Matius 5:13-16).
Berdasarkan keyakinan yang kokoh terhadap pembaharuan itulah maka MPS-GMIH (periode 2002-2007) --- dengan mempertimbangkan hasil Semiloka Ajaran dan Teologi tentang Calvinisme di Jemaat Mandiri Siloam-Gosama (2003) dan Semiloka Asas Presbyteraial Sinodal di Jemaat Mandiri Imanuel-Gamsungi(2005) serta pemikiran-pemikiran yang berkembang di Rakerta IV di Hatetabako-Wasilei (November 2005)--- membentuk suatu Tim Rivisi Tata Gereja (dengan Surat Tugas tangal 24 Maret 2006, nomor: MPS/1390/B-1/XXV/2006), yang terdiri atas: Pdt. R. Salakparang, S.Th (Penanggungjawab/Konsultan—pihak MPS), Pdt. Dr. Julianus Mojau (Ketua Tim Revisi---dari Baidang Ajaran dan Teologi GMIH), Pdt. J. Petrof, S.Si (Sekretaris), Pdt. A. Puasa, M.Th., Pdt. Jerda Djawa, M.Th,. Ir. A. Yoyana dan Silvanus Bungga, SH (Anggota).
Tim yang dibentuk itu mulai bekerja dengan mengajukan dua kali position paper tentang perlunya perubahan dan arah dasar Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH. Position paper pertama diajukan pada Rapat Evaluasi bersama pimpinan Wilayah se-Sinode GMIH(April 2006). Sementara position paper kedua diajukan pada Rapat Evaluasi bersama pimpinan Wilayah se-Sinode GMIH(Juli 2006). Selanjutnya, Tim ini dengan segala upaya telah berusaha sedemikian rupa ---- dengan cara mempelajari berbagai sumber, baik tekstual tertulis dalam bentuk dokumen-dokumen Gerejawi ( baik dari kalngan GMIH sendiri maupun dari Gereja-Gereja anggota PGI yang seasas GMIH) maupun penjaringan aspirasi di kalangan Jemaat-Jemaat dan warga Jemaat dalam Sinode GMIH serta keyakinan-keyakinan teologis yang sebagaimana terhayati oleh warga Jemaat GMIH dengan mempertimbangkan pergumulan hidup sehari-hari (secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik; secara khusus dari hasil penelitian bidang Ajaran dan Teologi GMIH)----- sesehingga pada Rakerta V di Nusliku-Weda untuk pertama kalinya diajukan draft pembaharuan dimaksud. Awalnya diharapkan draft ini dibahas secara serius dalam suatu bentuk persidangan sinode yang disebut: Sidang Sinode Istimewa. Namun terkait dengan semakin dekatnya Sidang Sinode XXVI di Jemaat Immanuel Tiga-Saudara-Ibu, maka maksud itu diurungkan. Namun pembahasan sebagai bentuk pendalaman terus dilakukan. Dan hal itu telah diwujudkan dalam bentuk dua kali Lokakarya Draft Tata Gereja 2007. Pertama, tanggal 31 Meii s/d 2 Juni 2007 di Jemaat Bethlehem, Wilayah Pelayanan Tobelo, dengan peserta yang agak terbatas. Kedua, tanggal 15-16 Juni 2007 di Jemaat-Moria-Pitu, Wilayah Pelayanan Tobelo, dengan peserta lebih luas dan banyak. Selama Lokakarya berlangsung diskusi sangat hangat dan produktif, sehingga menghasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut:
Roh pembaharuan diletakan pada semangat re-komitmen secara kontekstual terhadap asas presbyterial sinodal berbasis keumatan. Apa yang dimaksud dengan hal ini ialah draft Tata Gereja 2007 merupakan upaya pencarian identitas GMIH pasca-zendeling dan badan zending yang mencerminkan pergulatan humanis-ekologis kontekstual GMIH dalam melaksanakan tugas misionernya menjadi Gereja yang mandiri dan misioner di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya tanpa harus kehilangan identitas khas Calvinis sebagaimana diwarisi dari zendeling dan badan zending UZV.
Bertolak dari butir pertama di atas maka lebih lanjut disepakati: (a) perlunya re-definisi identitas ekklesiologis GMIH sebagaimana dirumuskan dalam Tata Dasar, Bab I dan Bab II; (b) perlunya re-strukturisasi kelembagaan sehingga lebih mencerminkan struktur kelembagaan pemberdayaan warga sebagaimana dirumuskan dalam Tata Dasar Bab V (dan Peraturan terkaitnya: Peraturan Jemaat dan Sinode--- dengan re-posisi Wilayah-Wilayah menjadi Koordinator; lihat juga bagan pola persekutuan dan struktur kelembagaan--terlampir); (c) perlunya kejelasan hal-hal yang terkait dengan kasus-kasus pastoral dalam kehidupan Jemaat dan tugas pelayanan para pendeta sebagai penatua penuh waktu dalam Jemaat-Jemaat sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan tentang Pelayan Khusus ( di mana khusus penatua penuh waktu/pendeta dilarang untuk partisian---lihat syarat-syarat pendeta); (d) adanya re-definisi dan re-orientasi kesalehan Kristiani dan penataan kembali secara baik kelender lliturgis kehidupan serta simbol-simbol liturgis sebagaimana diatur dalam Peraturan tentang Persekutuan Jemaat dan Penanggalan Kalender Gerejawi dan Siumbol-Simbol Lururgis; (e) serta pengaturan ulang tentang aset-aset GMIH dalam bentuk Peraturan tentang Badan Usaha dan Yayasan-Yayasan.
Dengan demikian draft Tata Gereja 2007 lahir dari suatu proses dialogis pencarian identitas ekklesiologis GMIH antara pembacaan Alkitab dalam konteksnya dengan tradisi iman Calvinis serta tradisi iman Gereja-gereja Reformatoris dalam konteksnya dengan konteks pergumulan humanis-ekologis warga GMIH dan warga masyarakat di pulau Halmahera dan pulau sekitarnya yang terus menerus berbenah-diri menjadi masyarakat yang lebih menghayati HAM, tatanan sosial dan pemerintahan yang demokratis, sehat lingkungan, partisipatoris, emansipatoris, egaliter dan meritokratis. Jadi, pola dan kultur kepemimpinan dalam organisasi GMIH sebagaimana nyata dalam draft Tata Gereja 2007 adalah hasil dari proses dialogis itu. Bukan mengambil alih begitu saja apa yang dikatakan dalam Alkitab, pola dan kultur kemimpinan dalam organisasi presbyterial Calvinis di Jenewa dan asas presbyterail sinodal pasca Sinode Prerancis (1559) sebagaimana banyak dipraktikan oleh Gereja-gereja Calvinis di Indonesia. Secara diagramatikal perbedaan itu dapat digambarkan sebagai berikut:
ALKITAB
Konteks (Monarki, Nomaden, Komunalisme).
Tata Gereja GMIH 2007
(Ajaran dan Teologi, Misi – Visi, Identitas Eklesiologis GMIH)
Asas Presbyterial Calvin di Jenewa
konteks
(aristokratis)
Konteks
Asas Presbyterial Sinodal Pasca Sinode Perancis (1559)
Konteks
Asas Presbyterial Sinodal Berbasis Keumatan
(Egaliter, Emansipatoris, Partisipatoris, Demokratis, Meritokratis, Peka Ekologis)
Asas Presbyterial Sinodal Gereja-gereja di Indonesia
Konteks (Kolonial, Orde Lama, Orde Baru)
Asas Episkopal
Konteks
(Paternalisme/Papalisme)
Warga GMIH
Masyarakat Halmahera dan sekitar
Konteks
(Global, Open Society, Civil Society)
Pergulatan humanis-ekologis
Cukup jelas kiranya dari uraian-uraian dan diagram di atas tentang pengertian dasar kepejabatan, wibawa kepejabatan, kultur kepemimpinan, dan pola pengorganisasian dalam Asas Presbyterail-Sinodal Berbasis Keumatan! Dengan demikian Tata Gereja bukanlah sekedar regulasi, melainkan suatu pergulatan ekklesiologis, yang lahir dari dalam rahim pergulatan humanis-ekologis warga GMIH dan warga masyarakat yang mendiami pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Dengan kata lain, draft Tata Gereja ini (sebagaimana nyata dalam Bab, Pasal dan Ayat), adalah mencerminkan pergulatan misiologis, teologis, dan ekklesiologisdalam menata-layani kehidupan bersama Gereja Masehi Injili di Halmahera sebagai qahal-Yahweh (umat Allah) dan soma Christoi (tubuh Kristus) yang terus menerus bergumul secara kontekstual dengan proses-proses pembaharuan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya!
Akhirnya, dalam tradisi Gereja-gereja Reformatoris, pembahruan merupakan conditio sine qua non seperti nyata dari semboyan reformasi: Ecclesia Reformata Semper Reformanda!! GMIH sebagai Gereja reformatoris tidak bisa memadamkan api pembaharuan. Jika GMIH memadamkan api pembaharuan berarti GMIH menghianati sejarahnya dan tradisi teologisnya yang selalu menekankan pembaharuan diri yang terus menerus demi kemulian Allah dalam Yesus Kristus, kini dan sepanjang masa!! Maka dari itu, draft Tata Gereja ini, di satu pihak merupakan kontinuitas dari Tata-Gereja sebelumnya; namun di pihak lain merupakan diskontinuitas karena perubahan pergumulan kontekstual secara misiologis, teologis, dan ekklesiologis!
Tobelo, 20 Juni 2007
Pdt. DR. Julianus Mojau
Ketua Tim Revisi Tata Gereja 2007/Ajaran dan Teologi GMIH
DRAF TATA GEREJA GMIH 2007
Gereja Masehi Injili di Halmahera pada tanggal 17 - 22 Juli 2007 akan melaksanakan Sidang Sinode XXVI. Sidang ini akan berlangsung di Jemaat Tiga Saudara, Wilayah Pelayanan Ibu Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.
Sidang ini memiliki arti penting karena dalam sidang ini diputuskan hal penting menyangkut Tata Dasar Gereja. Tata Dasar ini akan membawa perubahan mendasar bagi arah pengembangan kehidupan warga GMIH memasuki perubahan zaman dan kemajuan yang diakibatkannya. Dengan perubahan ini diharapkan GMIH akan menjadi sebuah komunitas hidup yang mengutamakan pelayanan kepada umat.
Arti penting dari Tata Dasar GMIH yang baru adalah memberi ruang yang sebesar-besarnya kepada warga GMIH untuk berpartisipasi dalam kehidupan gereja GMIH.
Langganan:
Postingan (Atom)